Poker Online

Cerita Tengah Malam, KKN di Desa Penari

Cerita Tengah Malam, KKN di Desa Penari

Cerita Tengah Malam, KKN di Desa Penari

Cerita Tengah Malam - Malam hari ini, gw akan menceritakan satu narasi dari satu orang, yang menurut gw istimewa. mengapa?
Baca Juga : Cerita Tengah Malam, Gaun Pengatin Anna Baker
sebab gw dikit tidak meyakini bisa bercerita tiap detil apa yang beliau alami,

satu narasi mengenai pengalaman beliau sepanjang KKN, dalam suatu desa penari.
sebelum gw mengawali semua. gw dikit ingin mengemukakan banyak hal.

awalnya, penulis tidak mendapatkan ijin untuk mempublikasikan narasi ini dari yang empunya narasi, sebab beliau mempunyai ketakutan sendiri pada banyak hal, yang mencakup universitas, serta desa tempat KKN di selenggarakan.
tapi, sebab penulis berpikir jika narasi ini mempunyai banyak pelajaran yang mungkin dapat diambil lepas dari pengalaman sang pemilik narasi pada akhirnya, kami setuju, jika, semua yang terkait dengan narasi ini, mencakup nama universitas, fakultas, Desa serta latar narasi,
akan di rahasiakan.

jadi bikin rekan-rekan yang membaca narasi ini, yang mungkin tahu, atau merasakan familiar dengan beberapa tempat yang walau di samarkan ini, di minta, untuk diam saja, atau rahasiakan semua, sebab ini telah jadi janji penulis serta pemilik narasi.
tahun 2009 akhir,

semua anak angkatan 2005/06 hampir menyelesaikan kriteria untuk ikuti KKN yang di kerjakan di sejumlah desa jadi ketentuan kelanjutan untuk pekerjaan skripsi.

dari semua muka ketertarikan itu di universitas, kelihatan seseorang terlihat menyendiri.
Widya, demikian beberapa anak lain memanggilnya

dia terlihat demikian grogi, menyepi, menyendiri, sampai panggilan telephone itu membuyarkan lamunanya.

"saya wes oleh nggon KKN 'e" (saya dapat tempat untuk KKN) kata di ujung telpon.

muka muram itu, menjadi senyuman penuh berharap
"nang ndi?" (dimana?)

"nang kota B, gok deso kabupaten K***li** , akeh proker, tidak jamin, nggone pas gawe KKN" (di kota B, disebuah desa di kabupaten K*******, banyak proker untuk di lakukan, tempatnya pas untuk KKN kita)

waktu itu , Widya selekasnya ajukan prop KKN
semua kriteria telah tercukupi, terkecuali kelengkapan anggota dalam tiap barisan minimum harus menyertakan 2 fakultas berlainan juga dengan anggota minimum 6 orang.
Bola Online Indonesia
"tenang" kata Ayu, wanita yang kemarin memberikan berita tempat KKN yang dia pemantauan bersama dengan abangnya.
benar saja, tidak beberapa lama, ada Bima dengan Nur, dia mengemukakan, kelengkapan anggota 6 orang yang menyertakan 2 fakultas telah di sepakati.

"sopo sing gabung Nur?" (siapa yang telah gabung Nur?) bertanya Ayu,

"temenku. kating, 2 angkatan di atas kita, satunya , topiknya"
lega telah. batin Widya.

surat ketetapan KKN telah di setujui semua, terbagi dalam 2 fakultas dengan proker barisan serta individu, untuk dedikasi di warga yang akan di selenggarakan kira-kira seputar 6 minggu.

tinggal menanti, pembekalan sebelum keberangkatan.
jauh-beberapa hari sebelum malam pembekalan, Widya berpamitan pada orangtuanya mengenai progress KKN yang harus dia menempuh, keika orang-tua Widya menanyakan ke mana Projek KKN mereka, kelihatan muka tidak senang dari raut ibunya.

"tidak onok nggon liyo, lapo kudu gok Kota B," (apa tidak ada tempat
-lain, mengapa harus kota B) muka ibunya menegang. "nggok kunu nggone Alas tok, ra umum di nggoni gawe menungso" (dari sana tempatnya bukanya rimba semua, tidak bagus ditempati oleh manusia)

tetapi sesudah Widya menejelaskan, jika awalnya telah dikerjakan pemantauan,-
muka ibunya melunak.

"Perasaane ibuk tidak enak, opo tidak isok di undur satu tahun maneh" (perasaan ibu tidak enak, apa tidak dapat di undur setahun )

Widya malas melakukanya, karena itu, walau berat, ke-2 orangtuanya juga sangat terpaksa menyetujuinya.
hari pembekalan sebelum keberangkatan.

Widya, Ayu, Bima serta Nur, matanya lihat ke seputar, cemas, 2 orang yang semestinya turut pembekalan belum kelihatan batang hidungnya, sampai, mendekati siang, 2 orang ada, menegur serta mengenalkan dianya di muka mereka.
Wahyu serta Anton.

sesudah basa basi, menanyakan sekitar gagasan KKN dari A sampai Z usai, mereka pada akhirnya pergi.

"Numpak opo dik kene??" (naik apa kita kelak?) kata Wahyu.

"Elf mas" jawab Nur.
Bola Online Indonesia
"sampai deso'ne numpak Elf dik?" (sampai desanya naik mobil Elf dik?)
"mboten mas. berhenti di jalan Alas D engken enten sing jemput" (tidak mas, kelak berhenti di jalan rimba D, kelak ada yang jemput) sahut Nur.

dengar itu, Widya menanyakan ke Ayu. "Yu, Deso'ne ra isok di liwati Mobil ta?" (Yu, apa desanya tidak dapat di masuki mobil"
Ayu cuma menggelengkan kepala. "ra isok, tetapi cedek kok tekan dalan gede, 45 menit palingan" (tidak dapat, tetapi dekat kok dari jalan besar, 45 menit peluang)

disini. narasi ini diawali.
sesuai dengan apa yang Nur sebutkan. Mobil berhenti di jalan masuk rimba D, tempuh perjalanan 4 sampai 5 jam dari kota S, tanpa ada berasa hari telah mulai petang, di lebih ruang dekat sama rimba, membuat pandangan mata terbatas, belum sampai dari sana, gerimis mulai turun. lengkaplah.
sesudah menanti hampir 1/2 jam, kelihatan dari jauh, sinar mendekat, Nur serta Ayu langsung menjelaskan jika mereka yang akan mengantarkan.

rupanya, yang mengantarkan ialah 6 lelaki paruh baya, dengan motor butut.

"cuk. sepedaan tah" kata Wahyu, spontan, waktu itu ada yang aneh
entahlah disengaja ataukah tidak, perkataan yang dikira biasa di kota S, di tanggapi lain oleh lelaki-lelaki itu, mukanya terlihat tidak senang, serta sinis tajam lihat wahyu.

namun, yang memerhatikan semua sedetail itu, cuma Widya seseorang. apa pun itu, mudah-mudahan bukan hal yang jelek.
ditengah-tengah gerimis, jalanan berlumpur, pohon di samping kanan kiri, mereka menempuh dengan suara motor yang seperti mau ngadat saja, ditambah medan tanah turun naik, membuat Widya berpikir kembali

hampir satu jam lebih, tetapi motor masih berjalan lebih jauh ke rimba
cemas jika yang dimaksud Ayu, 1/2 jam melalui 15 menit ialah 1/2 hari, Widya mulai mengharap semuanya cepat usai.

ditengah-tengah perjalanan, tidak satupun dari pengendara motor itu yang mengajaknya bicara, aneh. apa semua masyarakat dari sana pendiam semua.
Malam makin gelap, serta rimba makin sunyi sepi, tetapi, kata orang, dimana sunyi serta sepi di jumpai, dari sana, rahasia dijaga rapat-rapat.

sekarang, rasa menyesal sempat terpikir di pemikiran Widya, apa dia siap, habiskan 6 minggu ke depan, dalam suatu Desa, jauh di rimba.
saat suara motor merusak suara rintik gerimis, dari jauh, sayup-sayup, terdengar satu suara.

suara familiar, dengan tabuhan kendang serta gong, di turuti suara kenong, kompyang, mebaur jadi alunan suara gamelan.

adakah yang sedang membuat hajatan di dekat sini.
serta saat sayup-sayup suara itu perlahan-lahan lenyap, kelihatan gapura kayu, menyongsong mereka.

sampailah mereka di Desa W****, tempat mereka akan mengabdikan diri sepanjang 6 minggu ke depan.
"Monggo" (permisi) kata lelaki itu, sebelum tinggalkan Widya dengan motornya.
Bola Online Indonesia
"mrene rek" teriak Ayu, di sebelahnya berdiri seseorang pria, mukanya tenang, dengan kumis tebal, kenakan baju batik ciri khas ketimuran, dia berdiri seakan telah menanti sejak dari barusan.
"kenalno, niki pak Prabu. kepala Desanya. koncone mas'ku. pak Prabu, niki rencang kulo yang dari Kota S, ingin melakukan pekerjaan KKN di kampung panjenengan" (Kenalkan, ini pak Prabu, kepala Desa rekan kakakku, pak Prabu, ini rekan saya yang dari kota, yang gagasannya ingin KKN"
pak Prabu mengenalkan diri, menceritakan mengenai riwayat desanya, ditengah-tengah dia menceritakan, Widya juga menanyakan mengapa desanya harus sepelosok ini, dengan tawa sumringah, pak Prabu menjawab.

"pelosok yok nopo toh mbak, Jarak ke dalan gede hanya 1/2 jam kok"
(pelosok bagaimana-
tujuannya mbak, bukanya jarak ke jalan besar cuma 30 menit)

tatapan bingung Widya, diterima tatapan menanyakan oleh semua topiknya, seakan pertanyaanya kok memusingkan.

"mbak'e paling pegel, wes, tidak anter nang ndi sedoyo akan tinggal" (mbaknya mungkin lelah, jadi, silahkan, tak-
antar ke tempat dimana kelak kalian tinggal)

ditengah-tengah kebingungan itu, Ayu menyapa Widya. "maksudmu opo to Wid, takon koyok ngunu? garai sungkan ae" (tujuannya bagaimana tah Wid, kok kamu bertanya semacam itu, untuk saya sungkan saja kamu)

disana, Widya mengerti, ada yang salah.
tempat bermalam untuk lelaki ialah rumah gubuk yang dahulunya sering digunakan untuk posyandu, tetapi telah di ubah demikian rupa, walau beralas tanah, tetapi di dalamnya telah ada bayang (Ranjang tidur) beralasakan tikar.

sedang untuk wanita, bermalam di salah satu-
rumah masyarakat.

di kamar, Widya juga menanyakan, tujuan ucapanya pada pak Prabu, sebab selama perjalanan, jika di rasakan oleh Widya sendiri, itu lebih dari satu jam, Ayu menyanggah jika lama perjalanan tidaklah sampai sepanjang itu, anehnya, Nur pilih tidak turut berdebad.
Nur, lebih pilih untuk diam.
"ngene, awakmu krungu ora, nang dalan alas ingin, onok suara gamelan?" (gini, kamu dengar apa tidak , di jalan barusan, ada suara orang mainkan gamelan?)

"yo paling onok hajatan lah, opo maneh" (ya palingan ada masyarakat yang membuat hajatan, ditambah lagi)

berlainan dengan Ayu,-
Nur, memandang Widya dengan ngeri.

sambil bicara lirih, Nur yang semestinya paling ceria antara mereka mengatakan. "Mbak, ra onok Deso maneh nang kene, tidak mungkin nek onok hajatan, nek jare wong biyen, krungu gamelan nang nggon kene, iku tanda-tanda elek"
(Mbak, mustahil ada desa lain di sini, mustahil ada acara di dekat sini, jika kata orang dahulu kala, jika dengar suara gamelan, itu tanda-tanda jelek)
dengar itu, Ayu tersulut serta langsung menunjuk Nur telah ngomong yang tidak-tidak.

"Nur, ra perlu ngomong aneh-aneh kui, awakmu yo melok pemantauan nang kene ambek saya, mosok gorong sedino wes ngomong ra logis ngunu" (Nur, jangan ngomong asal-asalan kamu-
bukanya kamu turut pemantauan di kampung ini sama saya, belum satu hari kamu telah ngomong ha; yang tidak logis ini)

Ayu pergi, tinggalkan Widya dengan Nur.

waktu itu, Nur mengatakanya. "Mbak, saya yo krungu suara gamelan iku" (Mbak, saya dengar suara gamelan itu) tuturnya.
"masalahe mbak, saya yo ndelok onok penari'ne nang dalan ingin" (permasalahannya, saya lihat ada yang menari di jalan barusan)

"Astaghfirullah" kata Widya tidak yakin.

Nur memandang nanar Widya, air matanya telah seperti memaksakan keluar, Widya cuma memeluk serta coba menenangkanya.
benar kata ibunya kemarin.

"Banyu semilir mlayu nang etan," (air tetap mengalir mengarah timur) yang mempunyai arti, jika timur ialah tempat dimana semua di mengumpulkan jadi satu, di antara yang jelek serta yang paling jelek, serta sekarang, Widya harus tinggal di rimba paling timur
Narasi mengenai Nur serta Widya mengenai suara gamelan di selama perjalanan barusan, masih awalannya saja, seperti satu kopi masih sampai di rasa yang paling manis, belum sampai di rasa yang paling pahit.
Widya memang yakin pada beberapa hal yang ghaib, itu ada di ajaran agamanya, tetapi baru kesempatan ini dia rasakan langsung pengalaman itu, walau sekedar hanya suara, berlainan dengan Nur, topiknya, dia akui lihat yang tidak semestinya dia lihat.

mungkin Nur lebih peka.
memang, semenjak awal, Nur yang paling berlainan antara lainnya, cuma ia seseorang yang kenakan hijab, dibanding dengan Ayu serta dirinya, Nur yang paling religius, sebab setahu Widya sendiri, Nur jebolan ponpes terkenal di kota "J".
lepas dari itu semua, pengalaman KKN ini, tidak pernah di lupakan oleh semua rombongan ini.
"Nur," kata Widya masih menentramkan "Nur dapat tidak, narasi ini ojok sampai nyebar yo gok arek2, kan tidak enak, nek sampai kerungu ambi masyarakat deso, opo maneh kita di sini iku tamu, insyaallah, kabeh lancar, nggih"
Bola Online Indonesia
(Nur, dapat tidak narasi ini jangan pernah menebar ke rekan-rekan)
(kan jadi tidak enak, jika sampai masyarakat desa dengar, ditambah lagi kita di sini itu jadi tamu, insyaallah, semua akan baik-baik saja. ya)

Nur mengangguk, walau malas menjawab kalimat Widya, serta malam itu, tanpa ada berasa di lalui demikian saja. 
esok harinya, rombongan telah bergabung, sesuai dengan janji pak Prabu, ini hari, akan keliling desa, lihat semua proker yang telah di kemukakan oleh Ayu kemarin, sekaligus juga, minta pendapat untuk Proker individu yang perlu di lakukan oleh satu anak sendiri-sendiri.
"ngene iki, meskipun saya tinggal nang kene, saya yo pernah kuliah loh dek, sarjana " kata pak Prabu, bahasanya medok, campur-campur di antara bahasa jawa serta bahasa indonesia,

dengar itu, Wahyu menimpali. "iku lo, rungokno bapak'e, meskipun wong deso, tidak lali kuliah"
(itu loh, dengarkan bapaknya, meskipun tempat tinggalnya di desa, tidak lupa kuliah)

Wahyu meneruskan. "bapake mengambil apa dahulu? perhutanan ya?"

"bukan" kata beliau enjoy. "pertanian"

"Lah ra onok sawah nang kene, piye toh pak" (lah, di sini tidak ada sawah, bagaimana sich pak?)
"ya, memangnya sampeyan fikir karena hanya mengambil pertanian harus terjun ke sawah"

jawaban pak Prabu langsung membuat tawa pecah, Widya melirik Nur, ia bisa ceria , lupakan sesaat insiden tadi malam.

sampailah, mereka di penghentian pertama. satu pemakaman desa.
aneh.

itu yang pertama-tama di pikirkan Widya, atau serombongan orang. di tiap Nisan, di tutup oleh kain hitam.

pemakamanya sendiri, di kelilingi pohon beringin, serta di tiap pohon beringin, ada batu besar di sebelahnya, dari sana, ada komplet, sesajen di depanya.
Nur tadi turut ketawa, mendadak jadi diam. dia tundukkan kepalanya, seakan tidak ingin lihat suatu hal. pagi, itu mendadak berasa gelap di pemikiran Widya.

"ngapunten pak, niki nopo nggih kok" (minta maaf pak, ini mengapa ya kok)
belum usai Widya bicara, pak Prabu memotongnya

"saya tahu, apa yang adik ingin sebutkan, tentu ingin bertanya, kok patek (nisan) nya, di tutupi gunakan kain, begitu to?"

Widya mengangguk. rombongan memandang serius pak Prabu, kecuali Wahyu serta Anton, terdengar mereka sayup ketawa kecil
"ini itu namanya, Sangkarso. keyakinan orang sini. jadi agar tahu, jika ini loh pemakaman" jelas pak Prabu, yang jawabanya benar-benar tidak membuat serombongan anak senang, hingga Wahyu serta Anton meskipun perlahan menyengaja mengkritik. tetapi pak Prabu dapat mendengarnya.
"wong pekok yo isok mbedakno kuburan karo lapangan pak" (orang bodoh dapat juga memperbedakan kuburan serta lapangan bola pak)

pak Prabu yang awalannya tersenyum penuh dengan gurauan, mendadak diam, raut mukanya beralih serta tidak tertebak.

"mudah-mudahan saja, kalain tahu yang di omongkan ya"
kalimat pak Prabu seperti penekanan yang meneror, paling tidak itu yang Widya rasakan, langsung, Bima langsung memberi respon dengan mohon maaf, tetapi Wahyu serta Anton pilih diam sesudah dengar tanggapan pak Prabu.

"mongo pak, dapat lanjut ke tempat seterusnya"
tempat selanjutnya ialah Sinden (Kolam, tempat air keluar dari tanah) pak Prabu menjelaskan jika Sinden ini dapat di buat jadi Proker paling menjanjikan, tidak jauh darisana ada sungai, inginya pak Prabu, Sinden serta sungai dapat di sambungkan, jadi semcam jalan air.
tanpa ada berasa, hari telah siang.

Ayu serta Widya telah memetakan semua yang pak Prabu perlihatkan, memberikannya sampel warna merah sampai biru, dari yang paling di prioritaskan sampai yang terakhir di lakukan.

tetapi, tetap. sepanjang perjalanan, Widya banyak temukan kejanggalan.
kejanggalan yang paling menonjol ialah, tidak satu atau 2x, tetapi berulang-kali, dia lihat banyak sesajen yang di tempatkan di atas tempeh, komplet dengan bunga serta makanan yang di tempatkan dari sana, di lebih berbau kemenyan, membuat Widya tidak tenang.
setiap saat ingin menanyakan, hati kecilnya tetap menjelaskan jika itu bukan hal yang bagus.

Nur, sesudah dari Sinden, dia ijin kembali pada rumah, sebab badanya tidak enak, dengan suka-rela Bima yang mengantarkanya, jadi, pemantauan cuma di kerjakan oleh 4 orang saja.
selanjutnya, sampailah di titik paling menakutkan

"Tipak talas" jika kata pak Prabu. satu batas dimana rombongan beberapa anak di larang keras melewati satu setapak jalan yang di bikin sembarangan, di kiri kanan, ada kain merah komplet di ikat oleh janur kuning seperti pernikahan
"mengapa tidak bisa pak?" bertanya Ayu ingin tahu.

pak Prabu diam lama, seperti telah menyiapkan jawaban tetapi dia malas mengatakanya.

"iku ngunu Alas D****** , tidak onok opo-opo'ne, wedine, nek sampeyan niki nekat, jika hilang, lalu tersesat bagaimana?"
(itu ialah rimba belantara, tidak ada apa-apanya, cuma memperhitungkan, takutnya jika kalian ke sana, hilang, tersesat, lantas bagaimana?)

satu kali lagi, jawaban itu cukup membuat Widya meyakini itu bukan yang sebetulnya. tetapi, perasaan merinding lihat jalanan setapak itu, riil.
Lanjut tidak??

jadi hanya memberi tahu. narasi ini benar-benar panjang, sebab gw harus menulis sedetail mungkin tiap insiden sepanjang 6 minggu itu. gw tidak ingin kehilangan tiap detil pengalaman si pencerita.

btw, waktu denger ini, gw itu lemes setiap ingat waktu di ceritain lebaran lalu
pemantauan selesai saat pak Prabu mengantarkan rombongan kembali pada rumah beliau.

saat kembali, Wahyu serta Anton menanyakan, dimana kamar mandi, dia tidak temukan tempat itu dalam tempat mereka bermalam, rupanya, tiap rumah di desa ini tidak ada satupun yang punyai kamar mandi.
fakta mengapa tidak ada satupun rumah yang mempunyai kamar mandi ialah sebab susahnya akses air.

tetapi, pak Prabu menerangkan, dibagian selatan Sinden, samping sungai, ada satu bilik dengan kendi besar di dalamnya, dari sana, dapat di pakai untuk mandi.
tidak berhenti disana, pak Prabu menjelaskan jika, mulai ini hari, kendi di bilik akan di upayakan tetap terisi penuh, khususnya untuk mandi beberapa anak wanita.

untuk lelaki, dapat isi air di kendi dengan menimba air dari sungai.
semua anak terlihat memahami, walau muka Wahyu serta Anton terlihat keberatan, tetapi mereka tidak bisa lakukan apa-apa.

sekembalinya ke penginapan, Widya lihat Nur tengah tidur, hari itu di mengakhiri dengan rapat dengan semua anak, lalu kembali pada kamar untuk kerjakan laporan.
Sore menjalang malam.

Nur telah bangun, waktu itu , Widya meminta untuk mengantar dianya pergi ke kamar mandi di bilik samping Sinden, awalannya Nur terlihat tidak ingin, tetapi sebab di paksa, kahirnya dia juga turut dengan catatan, Nur ialah yang pertama masuk bilik.
Widya sepakat. dia tidak berpikir aneh-aneh.

sepanjang perjalanan, dia lihat tiap rumah yang di lalui, rata-rata sama, semua rumah tepan (tembok di muka) kiri-kanan dari gedek (bambu dianyam), langit telah merah, serta sesudah tempuh jarak cukup, pada akhirnya mereka sampai di Sinden
bangunan Sinden itu mirip candi kecil, perbedaannya, kolamnya persegi 4 dengan air yang jernih tetapi berlumut, sesudah mencari dari Sinden, ketemulah Bilik itu pas di samping pohon Asem, yang besar sekali, teduh, tetapi mengerikan.

sempat sangsi, tetapi Widya katakan lanjut.
rupanya benar, ada kendi besar di bilik itu.

air juga penuh di kendi, Nur juga masuk, sesaat Widya menanti di muka bilik, matanya tidak dapat melepas diri dari bangunan Sinden yang entahlah mengapa seakan menarik perhatianya, di sebelahnya, ada sesajen itu.
dari dalam bilik, terdengar suara air bilasan dari Nur, sesudah coba mengubah perhatian dari Sinden, Widya baru sadar, ada aroma kemenyan di dekat tempatnya berdiri, di telusurilah aroma itu, benar saja, di samping pohon asem itu juga ada sesajenya.
yang lebih kronis, bara dari kemenyan barusan di bakar.

di antara takut serta terkejut, Widya kembali pada pintu bilik, serta dari dalam, tidak terdengar suara air bilasan.

"Nur" "Nur" teriak Widya sambil mendobrak pintu kayu, anehnya, hening, tidak ada jawaban dari dalam.
masih berupaya menyebut, terdengar sayup suara lirih, lirih sekali sampai Widya harus tempelkan telinganya di pintu bilik.

suara orang sedang berkidung.

kidungnya sendiri mirip kidung jawa, suaranya benar-benar lembut, lembut sekali seperti seseorang biduan.
"Nur. bukak Nur!! bukak" spontan Widya mendobrak pintu dengan keras, serta saat pintu terbuka, Nur lihat Widya dengan ekspresi muka cemas

"nyapo to, Wid?" (kanapa sich Wid?)

ekspresi ganjil Widya membuat Nur kebingungan, lebih mimik mukanya mengambil pandang bag dalam bilik
"mari ndang adus, gantian, saya sing gok jobo" (mari cepat mandi, ubah agar saya yang menjaga di luar)

terkejut, Widya telah sangsi, lihat samping Bilik ada sesajen, Widya tidak tahu apa harus narasi ke Nur masalah itu, tetapi dengan sangsi, Widya pada akhirnya bergegas masuk bilik, tutup pintu.
sisi dalam bilik benar-benar lembab, kayu sisi dalamnya telah berlumut hitam, di depanya ada kendi besar, 1/2 airnya telah terpakai, mendapatkan gayung yang dibuat dari batok kelapa dengan gagang kayu jati yang di ikat dengan sulur, Widya mulai buka pakaiannya perlahan-lahan.
masih teringat nyanyian kidung barusan, Widya mengambil pandang, dia tidak sendiri

situasinya seperti ada figur yg lihat serta mengamatinya, dari ujung rambut sampai ujung kaki, figur itu seperti muka seseorang wanita yang cantik dan ayu, permasalahannya, Widya tidak tahu siapa pemilik muka
dia berdiri di muka kendi, pakaiannya telah tertanggal, mendapatkan air pertama yang membersihkan badanya, Widya rasakan dingin air itu mencuci badanya.

sunyi, sepi, Nur tidak bernada di luar bilik, memberi sensasi kesendirian yang membuat bulukuduk merinding.
tiap siraman air di kepalanya, membuat Widya pejamkan matanya serta tiap dia pejamkan mata, teringat muka cantik yang cantik itu sedang tersenyum memandanginya.

siapa pemilik muka cantik itu?

selanjutnya, kidung itu terdengar , Widya kembali, memperhatikan,
suaranya, di luar bilik. tempat Nur berdiri seseorang diri.
apa Nur yang sedang berkidung?

pertanyaan itu, menancap keras di kepala Widya.
selesai telah acara mandi di sore itu, di perjalanan pulang, Widya mengambil pandang pada Nur, matanya mengamati, seolah tidak yakin, selanjutnya dia menanyakan.
Bola Online Indonesia
"Nur, awakmu isok kidung jawa ya?" (Nur, kamu dapat bersenandung lagu jawa ya?)

Nur memperhatikan Widya, selanjutnya, dia diam.
Nur pergi tanpa ada menjawab sepatah katapun dari pertanyaan Widya. dia seperti bawa rahasianya sendiri, tanpa ada ingin membagi rahasia itu.
Listrik di desa ini memakai tenaga Genset, jadi saat jam tunjukkan jam 9, lampu telah mati, di ubah dengan petromak, Nur telah pergi tidur, tinggal Widya serta Ayu yang masih mengakhiri perkembangan untuk Proker keesokan hari.

Widya masih ingat insiden sore barusan.
sebetulnya Widya ingin narasi, tetapi jika lihat tanggapan Ayu tempo hari, kelihatannya dia akan di semprot serta berbuntut pada pidato larut malam.

ditengah-tengah keheningan mereka mengerjakan perkembangan, mendadak Ayu menjelaskan suatu hal yang membuat Widya tertarik.
"ingin saya ambek Bima, ngecek perkembangan gawe pembuangan, cocok muter deso, iling tidak ambek Tapak talas, tibakne, tidak adoh tekan kunu, onok omah sanggar" (barusan saya sama Bima, memeriksa perkembangan untuk pembuangan, saat melingkari desa, ingat berbeda Tapak Tilas, nyatanya, tidak jauh-
-darisana, ada satu bangunan tua mirip sanggar)

Widya terdiam sesaat, mengolah kalimat Ayu

"Loh, awakmu kan wes reti nek tidak oleh mrunu!!" (Loh, bukanya kamu telah pahami dilarang ada dari sana)

"guguk saya" (bukan saya) bela Ayu, iku ngunu Bima sing ngajak.
(jadi yang ajak awalannya si Bima) jarene, onok wedon ayu mlaku mrunu, cocok di tut'i, ra onok tibak ne (tuturnya ada wanita cantik, cocok di turuti nyatanya tidak ada)
"lah trus, awakmu tetep ae mrunu!!" (lah terus kamu masih ke sana)

"cah iki, yo kan saya ngejar Bima, opo di umbarke ae cah kui ngilang!!" (anak ini, kan saya memburu Bima, apa di biarlah saja anak itu kelak hilang)

perdebadan mereka berhenti sampai dari sana, tetapi perasaan itu.
Widya merasakan perasaanya makin tidak enak. semenjak mencapai desa ini, semua berasa seperti kacau.
sebab malam makin larut, Widya juga bergerak pergi ke kamar, dari sana dia lihat Nur, telah terlelap dalam tidurnya. Ayu juga mengejar selanjutnya, mengharap malam hari ini selekasnya berlalu,

mendadak terdengar langkah kaki waktu Widya lihat apa yang berlangsung, bayangan Nur mengambil langkah keluar
sangsi apa ingin membangunkan Ayu, Widya juga bergerak dari tempatnya tidur, berjalan, memburu Nur.

rumah telah gelap gulita, sang pemilik rumah nampaknya telah terlelap di kamarnya, di muka Widya, pintu rumah telah terbuka lebar, dengan perlahan-lahan, Widya mengambil langkah ke sana.
Malam itu benar-benar gelap, lebih gelap dari prediksi Widya, bayangan pohon terlihat semakin besar dari umumnya, serta sayup-sayup terdengar suara binatang malam, benar-benar sunyi, benar-benar sepi, di lihatnya kesana-kemari cari dimana kehadiran Nur, Widya terpaku lihat Nur, di depanya
Nur berdiri di tanah lega depan rumah, ia menari dengan benar-benar anggun, tanpa ada alas kaki, Nur berlenggak-lenggok seperti penari profesional.

Widya, termengu mematung lihat topiknya semacam itu. sangsi, Widya mendekatinya. tidak pernah terfikirkan Nur dapat menari semacam ini.
"Nur" panggil Widya, tetapi figur Nur seperti tidak mendengarkanya, dia masih berlenggak lenggok, sorot matanya seringkali melirik Widya, ngeri, mendadak bulukuduk berasa berdiri saat memandangnya.

dari jauh, sayup sayup, kendang terdengar , Widya makin di bikin takut,
tabuhan gamelan sahut menyahut, campur aduk dengan tarian Nur yang seperti ikuti alunan itu.

kaki seperti ingin lari serta mengambil langkah masuk rumah, tetapi Nur makin menggila, dia masih menari dengan senyuman ganjil di bibirnya.
hingga kemudian Widya memaksakan Nur hentikan tarianya, dia berteriak minta topiknya supaya berhenti berlaku aneh, serta waktu itu, muka Nur menjadi muka yang benar-benar menakutkan.

sorot matanya tajam, dengan mata hampir hitam semua. Widya menjerit sejadi-jadinya.
kali selanjutnya, satu orang menggenggam Widya kuat sekali, menggoyangkanya sambil menyebut namanya.

Wahyu.

Widya lihat Wahyu yang menatapnya dengan tatapan bingung plus takut.

"bengi bengi lapo As* nari-nari tidak jelas nang kene!!" (malam-malam ngapain anji*g!! nari sendirian-
di sini seseorang diri)

jeritan Widya rupanya membangunkan kebanyakan orang, terhitung si pemilik rumah, Widya lihat sorot mata kebanyakan orang memandangnya, tidak kecuali Nur yang rupanya barusan keluar dari di rumah.
"onok opo to ndok?" (ada apakah sich nak?) kalimat itu lah yang pertama-tama Widya dengar, si pemilik rumah terlihat cemas, tetapi Widya lebih tertuju pada Nur, dia melihat dianya, mereka saling termangu melihat keduanya.

insiden itu, disudahi dengan narasi Wahyu
Wahyu bercerita semua, awalannya dia cuma ingin mengisap rokok sambil duduk di teras posyandu, selanjutnya dia tidak menyengaja lihat satu orang, sendirian, menari-nari di tanah lega, sebab ingin tahu, wahyu mendekat, sampai Wahyu baru sadar jika yang menari itu ialah Widya.
semua yang dengarkan narasi Wahyu cuma dapat memandang nanar, tidak ada yang memberi komentar, si pemilik rumah pada akhirnya memerintah mereka buyar serta masuk ke di rumah , sebab hari makin larut.

si pemilk rumah, janji akan bercerita ini pada pak Prabu.
tetapi ada satu hal, yang menyengaja Wahyu tidak katakan, kelak, dia akan menerangkan semua.

tetapi malam itu, betul-betul Malam yang edan, seakan-akan jadi pembuka serangkaian insiden yang akan mereka mengmelawan di celah pekerjaan KKN mereka ke kondisi yang paling serius.
kebanyakan orang telah bergabung, penuhi panggilan pak Prabu, beliau menanyakan mengenai bagaimana urutan insiden, Ayu akui tidak paham, Widya menjelaskan dia sedang memburu Nur yang pergi keluar rumah, tetapi Nur menjelaskan dia cuma pergi ke dapur untuk cari air minum.
semua keterangan itu tidak menolong benar-benar, tetapi terlihat dari raut muka pak Prabu, dia lebih tertarik bagaimana Widya dapat menari jika latar belakangnya saja jika dia akui belum pernah belajar menari awalnya

hari itu, pak Prabu minta Widya, Ayu serta Wahyu, menemaninya
Nur pergi, dia harus kerjakan proker individualnya.

dengan bekal motor butut yang kemarin dipakai untuk mengantarkan mereka masuk ke desa ini, kesempatan ini di pakai untuk mengantarkan mereka ke rumah satu orang.

Wahyu dengan Widya, Pak Prabu berboncengan dengan Ayu.
jalan yang mereka menempuh hampir serupa dengan jalan yang kemarin, anehnya, kesempatan ini Widya rasakan sendiri, untuk sampai ke jalan raya tidaklah sampai 1 jam, justru tidaklah sampai 30 menit, lalu, bagaimana dapat dia rasakan waktu selambat itu saat malam saat orang2 desa menjemput
Rumah yang pak Prabu kunjungi, rupanya rumah satu orang.

melewati jalan besar, lalu masuk ke satu jalan setapak bikinan, Tempat tinggalnya bagus, justru dapat di katakan terbagus di banding rumah orang2 desa, namun, rumah itu berdiri ditengah-tengah bagian rimba belantara lain.
berpagar batu bata merah, dengan beberapa bambu kuning, rumah itu kelihatan benar-benar tua, tetapi masih enak dilihat mata.

di muka rumah, ada orangtua, kakek-kakek, sepuh, berdiri seperti telah tahu jika ini hari akan ada tamu yang bertandang.
tidak ada yang mengetahui nama kakek itu, tetapi pak Prabu memanggilnya mbah Buyut, sesudah pak Prabu usai bercerita semua, muka mbah Buyut terlihat biasa saja, tidak tertarik benar-benar dengan narasi pak Prabu yang walau sebenarnya membuat semua beberapa anak masih tidak mengerti.
kadang-kadang memang mbah Buyut kelihatan memandang Widya, berkesan mengambil pandang, tetapi ya demikian, sekedar hanya mengambil pandang saja, tidak kurang.

dengan suara serak, mbah Buyut pergi dalam rumah, beliau kembali dengan 5 gelas kopi yang di sajikan di muka mereka.
"Monggo" (silakan) kata beliau, matanya melihat Widya.

lihat itu, Widya menampik, menjelaskan dianya belum pernah minum kopi, tetapi senyuman ganjil mbah Buyut membuat Widya sungkan, yang pada akhirnya berekor dia meneguk kopi itu walau cuma satu tegukan saja.
kopinya manis, ada aroma melati didalamnya, yang awalannya Widya cuma mencoba-coba tanpa ada sadar, gelas kopi itu telah kosong.
Bola Online Indonesia
bukan sekedar Widya, kebanyakan orang di tegur supaya mencicip kopi bikinan beliau, tuturnya "tidak baik menampik pemberian tuan-rumah"

semua pada akhirnya mencobanya
selanjutnya. Wahyu serta Ayu terkejut 1/2 mati, sampai harus menyemburkan kopi yang dia teguk, mimik mukanya bingung, sebab rasa kopinya bukan sekedar pahit, tetapi benar-benar pahit, sampai tidak dapat di tolerin masuk ke tenggorokan.

anehnya, Pak Prabu meneguk kopi itu biasa saja.
"ini" kata mbah Buyut, beliau memakai bahasa jawa halus sekali, sampai ucapanya terkadang tidak dapat di mengerti semua anak. ada kalimat, penari serta penunggu, tetapi yang lainnya tidak bisa dicerna.

dia menunjuk Widya pas dimuka mukanya, mimik mukanya benar-benar serius.
pak Prabu dengarkan dengan cermat, lalu berpamitan pulang.

sebelum mereka pulang, mbah Buyut memberikan kunir pas di dahi Widya, tuturnya untuk jaga Widya saja.

kunjungan itu benar-benar tidak di tahu tujuanya, sepanjang perjalanan, pak Prabu menceritakan, mengenai kopi. 
kopi yang di sajikan mbah Buyut barusan ialah Kopi ireng yang di racik spesial untuk menyebut Lelembut, Demit serta sejenisnya, bukan kopi untuk manusia, mereka yang tidak pernah mencobanya, pasti memuntahkanya, tetapi, buat lelembut serta sebangsanya, kopi itu manis sekali.
semua anak melihat Widya.

tetapi pak Prabu selekasnya menjelaskan hal-hal lain. "sepurane sing akeh nduk, sampeyan onok sing ngetut'i" (minta maaf ya nak, kamu, ada yang ikuti)
tidak hanya menjelaskan itu, pak Prabu menjelaskan jika tak perlu takut, sebab Widya tidak langsung di apa-apakan, cuma di turuti saja, yang lebih penting, Widya tidak bisa dibiarkan sendirian, selalu harus ada yang menemaninya, karena itu, pak Prabu punyai ide.
mulai malam hari ini, mereka akan tinggal pada sebuah rumah, cuma dipisah oleh sekat dari bambu anyam, pak Prabu cuma minta satu hal, jangan melanggar norma serta etika saja.

pertemuan itu diminta tidak untuk dikisahkan ke siapa saja , serta Nur, Anton serta Bima.
rumah mereka yang baru pas berada di ujung, lumayan besar, serta sisa rumah keluarga yang merantau, sekaligus juga ini menjawab pertanyaan mengapa jarang-jarang di jumpai anak seumuran mereka di desa ini, rupanya, umumnya beberapa anak yang telah akil baligh tentu pergi merantau.
dibelakang rumah, ada watu item (Batu kali) lumayan besar, dengan beberapa pohon pisang, serta di kelilingi, daun selesai.

Anton awalannya tidak sepakat mereka geser, sebab atmoser tempat tinggalnya yang tidak enak serta itu dapat kelihatan di luar, tetapi ini, perintah dari pak Prabu
sesudah insiden itu, Ayu dikit menghindarkan Widya.

Widya memahami akan hal tersebut, tetapi Wahyu sebaliknya, dia dekati Widya serta memberikan semangat supaya tidak mengolah mentah2 pesan orangtua itu.

di sini, Wahyu menceritakan insiden yang tidak dia katakan pada malam insiden itu.
"Wid, kancamu cah lanang iku, tidak popo tah?" (Wid, temanmu yang cowok itu baik-baik saja kah?)

"maksud'e mas?"

"cah iku, ben bengi metu Wid, emboh nang ndi, trus biasane balik-balik nek isuk, opo buat proker tetapi kok bengi?"
(temanmu itu, tiap tengah malam keluar Wid, entahlah ke mana, trus umumnya baru balik pagi, apa sedang kerjakan prokernya tetapi kok harus malam?)

"ra memahami saya mas" (tidak tahu saya mas)

"trus" kata Wahyu "saya seringkali rungokno, cah iku ngomong dewe nang kamar"
(saya seringkali denger anak itu ngomong sendirian di kamar)

"ra mungkin tah mas" (tidak mungkin lah mas)

"sumpah!!" "tidak iku tok, terkadang, cah iku koyok ngguyu-nggyu dewe, stress palingan" (tidak hanya itu, terkadang ia ketawa sendirian, edan kali anak itu)
"Bima iku religius mas, ra mungkin aneh-aneh" (Bima itu religius, tidak mungkin aneh-aneh)

"yo wes, takono Anton nek ra percoyo, bengi sak durunge saya eroh awakmu nari, Bima asline onok nang kunu, arek'e ndelok tekan cendelo, memahami awakmu sak iki. gendeng cah iku"
(ya telah, bertanya Anton jika tidak yakin, malam sebelum insiden itu, Bima sebetulnya berada di insiden, ia hanya lihat kamu dari jendela, memahami kamu saat ini, edan itu anak)

Widya diam lama, mengolah kalimat itu, dia lihat Wahyu pergi dengan raut muka jengkel.
Malam semua anak telah bergabung, Nur berada di kamar, ia sedang sholat.

Widya di ruangan tengah sendirian, sedang Ayu, Wahyu serta Anton bercakap di teras rumah, Bima, ada pertemuan dengan pak Prabu.

sebelum, suara kidung terdengar , suaranya dari arah pawon. (dapur)
untuk sampai pawon, Widya melalui kamar, dari sana Nur sedang bersujud, makin lama, suaranya makin terdengar dengan jelas.

Pawon rumah ini cuma di tutup dengan gorden, waktu Widya menguak gorden, dia lihat Nur, sedang meneguk air dari kendi, komplet dengan mukenanya.
Widya mematung, diam, lama sekali, sampai Nur yang meneguk dari kendi memandangnya.

mata mereka sama-sama melihat keduanya.

"Lapo Wid" (mengapa Wid?) bertanya Nur.

Widya masih diam, Nur juga dekati Widya, langsung Widya langsung lari, serta lihat isi kamar, dari sana, tidak ada Nur
"onok opo toh asline" (ada apakah tah sebetulnya) bertanya Nur yang saat ini di samping Widya, dia menggenggam pundak Widya. dingin. tangan Widya masih gemetaran, sampai semua anak lihat mereka selanjutnya mendekatinya.

"lapo kok rame'ne" (mengapa kok sangat ramai) tegur Ayu.
"tidak eroh, cah iki ket maeng di jak ngomong ra njawab-njawab" (tidak tahu, anak ini di bertanya daritadi tidak jawab-jawab)

"lapo Wid?" Wahyu dekati

"tanganmu kok gemeteran ngene, onok opo sich" (tanganmu mengapa gemetaran ini, ada apakah sich?) bertanya Anton.
"Nur, jupukno ngombe kunu loh, kok lebih meneng ae" (Nur ambilkan air begitu loh, kok justru diam saja) tegur Anton,

Nur kembali dengan teko kendi tadi, ia memberikanya pada Widya, serta Widya selanjutnya meneguknya, lalu, mendadak Widya diam , membuat kebanyakan orang bingung
tangan kiri Widya masih menggenggam teko, sedang tangan kananya, terangkat lalu masuk ke mulut, dari sana, Widya berupaya ambil suatu hal, ada 2 sampai 3 helai rambut hitam, panjang, serta itu keluar dari dalam mulut Widya.

semua yang menyaksikanya, beringsut mundur. terkejut.
demikian penutup tekonya dibuka, di dalamnya, ada segumpal rambut, betul-betul segumpal rambut dengan air di dalamnya.

Nur yang memandangnya langsung bereaksi. "saya ingin yo ngombe teko kunu, tidak eroh saya onok barang ngunu'ne" (barusan saya minum dari sana, tidak tahu ada begituanya)
Widya muntah sejadi-jadinya, waktu kondisi tegang semacam itu, Anton mendadak menjelaskan "awakmu di incer yo Wid, jare mbahku, nek onok rambut tidak koro metu, iku biasane nek tidak di teluh yo di incer demit"

(kamu di bidik ya Wid, kata mbahku, jika tiba2 ada rambut)
(itu umumnya jika tidak di teluh ya di bidik makhluk halus)

Nur, selanjutnya mengatakanya

"Wid, opo penari iku jek ngetuti awakmu, soale ket wingi saya wes ra ndelok gok mburimu maneh"(Wid, apa penari itu masih ngikutin kamu, soalnya dari tempo hari saya belum lihat ia di belakangmu)
beberapa hari sesudah pernyataan Nur itu, membuat Widya makin kuatir, dia jatuh sakit sepanjang 3 hari, serta sepanjang itu , Widya cuma terbaring di atas tikar kamar, Nur tidak meneruskan ceritanya, sebab tuturnya dia telah salah mengatakanya, semestinya dia meredam narasi itu.
sepanjang Widya terbaring sakit, dia sering di tinggal sendirian di dalam rumah itu, serta sepanjang tinggal di dalam rumah itu, ada satu insiden yang tidak pernah Widya lupakan.

semua diawali saat, dia cuma berbaring di atas tikar, Ayu serta Nur berpamitan akan mengawali proker mereka
anak2 cowok mengawali proker mereka masing2, semestinya, tidak ada satupun orang di dalam rumah itu, tetapi, siang itu, terdengar suara suatu hal yang di pukuli, hal tersebut memunculkan rasa ingin tahu, suaranya seperti bentrokan di antara lempengan yang keras, awalannya Widya menghiraukanya
tetapi, makin lama, Widya tidak tahan serta pada akhirnya mengeceknya.

suara itu terdengar berada di belakang rumah, pas di samping pawon (dapur), karena itu Widya pergi ke sana, waktu dia sampai di pintu pawon, yang dibuat dari kayu, Widya berhenti, di sela2 pintu, Widya melihat
alangkah bingungnya Widya, lihat antara pohon pisang, ada seseorang bapak2, usianya sekitar di antara 50'an, memakai baju hitam ala orang yang akan berkebun, dia berdiri antara pohon pisang, matanya terlihat mengamati rumah sebagai penginapan Widya sepanjang KKN
lama sekali, bapak itu berdiri mengamati penginapan Widya, gerak-geriknya benar-benar meresahkan, seperti ingin masuk ke rumah tetapi, bapak itu ragu-ragu.

ketakutan, mendadak berasa di diri Widya, selanjutnya, selang beberapa waktu, bapak itu pergi tinggalkan tempat itu.
rasa lega, bapak itu pergi, Widya punya niat kembali pada kamar, dari sana dia lihat Anton, barusan masuk rumah, mereka berpapasan, bodohnya, Widya tidak bercerita hal tersebut pada Anton serta anak lain, sebab esok harinya, momen yang sama itu, kembali terulang lagi..
dimulai suara keras yang sama, Widya kembali melihat, kesempatan ini, bapak itu lebih berani, dia lihat kesana-kemari, dekati penginapan serta seringkali berupaya melihat, dari gerak-geriknya, nampaknya bapak itu punya niat jelek, permasalahannya, apa yang ingin ia mencari di sini.
pikirkan hal tersebut, Widya mendadak seperti baru ingat, dia cuma di dalam rumah ini sendirian, seseorang wanita, sendirian di rumah, serta seseorang pria asing, dekati rumah itu, ditambah lagi jika bukan

sekejap, saat si bapak telah berdiri di muka pintu pawon, suara itu mengejutkanya
suara keras itu rupanya dari Batu di belakang pawon, keras sekali sampai membuat si bapak lari tunggang langgang, Widya menyaksikanya sendiri, ada yang melempar batu lumayan besar, pas di Watu item (Batu kali) di belakang rumah

hingga si bapak cemas serta pergi, Widya turut pergi
Widya melaporkanya pada pak Prabu, yang turut terkejut mendengarnya, di cari si bapak itu, serta bertemu, rupanya ia ialah masyarakat desa sana, saat di bertanya apa yang ia kerjakan di dalam rumah beberapa anak KKN, bapak itu menjelaskan suatu hal, yang entahlah benar ataukah tidak, jika dia lihat wanita
Wanita yang dipandang si bapak ini, kenakan pakaian seperti dayang (penari) serta dia masuk rumah ini, tetapi sebab beliau takut di kira lakukan beberapa hal tidak baik, dia mengeceknya diam-diam, tetapi, pada hari dimana dia lari tunggang langgang, dia lihat suatu hal di pawon rumah
dia lihat wanita itu di pawon rumah, dia sedang menari dengan anggun, sekejap sebelum dia lihat mukanya, si bapak terkejut 1/2 mati, sebab dibalik sirat muka wanita yang di kira kelihatan cantik itu, rupanya polos, rata tidak ada bentuk.
apa yang di katakan si bapak memang tidak bisa di yakin, tetapi pak Prabu tidak punyai bukti lebih jauh, karena itu pak Prabu cuma menyapa supaya tidak lakukan hal tersebut , si bapak juga pergi,

tetapi, pak Prabu menjelaskan hal-hal lain yang membuat Widya begidik ngeri,
"onok sing nyoba ngbari sampeyan mbak" (ada yang coba berpesan sama kamu mbak)

"sinten pak?" (siapa pak?)

"mbah-mbah sing nunggu nang Watu Item" (kakek-kakek penjaga batu kali itu)

sesudah insiden itu, Widya diminta ke rumah pak Prabu jika masih sakit.
tetapi, ada insiden , yang Widya alami, kesempatan ini menyertakan Nur, serta fakta mengapa runtutan semua insiden ini, terkait keduanya.
Minta Maaf, harusnya ini hari gw Free, sudah siapin waktu , gagasan awal ingin namatin malam hari ini tetapi mendadak diminta lembur .

esok saja ya, minta maaf sekali.
saat itu siang hari, Widya sedang kerjakan prokernya yang telah terlambat beberapa waktu, Wayu dekati Widya, dia tawarkan peluang untuk keluar desa sesaat sebab harus beli peralatan untuk progress kerjanya yang perlu di beli di kota.

"Melu mboten?" (turut tidak?)
"adoh tidak?" (jauh tidak?)

"2 jam" kata Wahyu, "saya wes ijin pak Prabu, oleh nyilih motor'e" (saya telah ijin pak Prabu, bisa pinjem motornya)

"nggih pon, melu" (ya telah, turut)

Wahyu lihat jam di tanganya, jam 11 melalui, dia harus cepat mengakhiri urusanya di kota,
sebab sekejap sebelum minta ijin, pak Prabu telah mewanti-wanti untuk telah kembali sebelum hari petang, waktu Wahyu bertanya mengapa harus semacam itu, toh ada jalan setapak yang mudah di susuri untuk masuk ke rimba ini.

dengan muka tidak tertebak, pak Prabu, menjelaskan,
"tidak onok sing tahu opo sing onok gok jero'ne Alas le" (tidak ada yang pernah tahu apa yang berada di dalam rimba nak)
mereka pergi, tembus jalan setapak, lalu sampai di jalan raya besar, menyusurinya, jauh, benar-benar jauh, hingga kemudian mereka datang di kota B, dari sana mereka berhenti dalam suatu pasar, Wahyu serta Widya mulai cari semua kepentingan mereka.

kira-kira sesudah 2 jam,
cari ke sana kesini serta sesudah mendapatkanya, mereka langsung cepat kembali.

Wahyu berhenti di pom bensin, dia harus kembalikan motornya dalam kondisi bensin full, norma saat pinjam barang orang lain.

jam telah tunjukkan jam 4, telah begitu sore,
sesaat dia lihat Widya dari jauh, dia berhenti pas di samping penjual cilok, saat Wahyu sampai dari sana, dia beli beberapa cilok, untuk Widya serta dirinya, waktu itu, si penjual cilok, memandangnya seperti ingin mengemukakan suatu hal.
"Mas nya pendatang?" kata orang asing itu.

"mboten pak" "kulo KKN ten mriki" (tidak pak, saya cuma KKN di sini)

"tetep ae, wong joboh to" (tetap, orang luar kan?) kata si penjual, masih lihat Widya serta Wahyu berganti-gantian.
Bola Online Indonesia
"nek oleh takon, masnya sama mbaknya KKN dimana?"
Wahyu bercerita semua, terhitung tempat KKN nya, waktu itu kelihatan jelas sekali pergantian muka si penjual.

"Loh, sampeyan bermakna silahkan iki liwat Alas D*********??" (bermakna sesaat anda akan melalui di rimba **********??)

"nggih pak" (iya pak)
"loh loh, halah dalah" "wes yangmene mas, opo ra isok mene ae mas, sampeyan golek penginapan ae, soale nek jam yangmene, jarang-jarang onok sing liwat" (telah jam segini mas, apa tidak dapat esok saja mas, mencari saja penginapan, soalnya jam segini telah jarang-jarang ada yang melalui) kata si bapak
"mboten pak, kulo bablas mawon" (tidak pak, saya lanjut saja) kata Wahyu,

"ngeten mas, isok kulo nyuwun waktu'ne sampeyan??" (gini mas, dapat saya meminta waktunya sesaat)

si penjual cilok, mendadak menjelaskan hal tersebut dengan muka tegang.
"nggih pak" kata Wahyu.

Widya yang sejak dari barusan pilih diam, cuma dengarkan saja waktu penjual cilok itu bercerita apa yang perlu mereka kerjakan waktu masuk ke Alas ***********

"ngeten mas" (ini mas) "engken, bade sampun mlebet nang Alas'e sampeyan mlaku ae teros"
(kelak sesudah kalian sampai serta masuk ke jalanan hutanya, jalan saja ya terus)

"ora perlu mandek, utowo ngeladeni opo ae, tahu ya mas"(tidak perlu berhenti, ditambah lagi mengurus hal apa pun, sampai sini memahami ya mas)

"ojok lali, moco dungo'e sing katah"(janganlah lupa doanya yg banyak)
(sing sangat penting, nek sampeyan krungu suoro ra onok wujud'e, tetep lanjut, bade sampeyan sampai di gawe ciloko, nek isok lanjut, lanjut ae, ra perlu di urus mas, sampeyan percoyo ae, dungo nggih" (yang sangat penting, bila kalian dengar suara tanpa ada bentuk, masih lanjut saja)
(bila sampai kalian di buat celaka, lalu kalian masih dapat meneruskan, teruskan saja, jangan sampai berhenti dari sana, yang penting tak perlu di perdulikan, kalian yakin saja, doanya prioritaskan)
Widya belum pernah dengar ada orang yang sampai menceritakan dengan mimik muka yang tegang, serta bibirnya gemetar waktu bercerita.

"kulo dongakno sampeyan sampeyan selamet sampai nang Arah"(saya doakan kalian selamat tiba di tujuan)

pas saat langit telah kemerahan,
mereka meneruskan perjalanan, di belakang, Widya mulai rasakan angin dingin, melewatinya demikian saja. belum pernah di kira, jalan masuk rimba, lebih gelap saat petang telah mulai mendekati.
sinar motor yang dikendarai Wahyu tembus kegelapan malam, kilatan pohon rimba di samping kiri kanan jalan jadi panorama tidak terelakan, cuma suara motor yang dapat hidupkan sepi senyap di selama jalan, sebab benar saja, tidak di jumpai satupun pengendara lain di sini
Wahyu coba mencairkan situasi dengan berandai-andai bagaimana jika motor berhenti atau ban meletus ditengah-tengah di antara rimba ini sesaat belum di jumpai satupun pengendara yang melalui, Widya cuma menyikapi kecut, takut jika pengandaian wahyu berlangsung pada mereka, serta benar saja.
Motor mereka ngadat pas sesudah Wahyu menjelaskan itu.

Widya, diam seribu bahasa, hal kurang pandai dari manusia sejak dahulu saat ialah pikirkan suatu hal yang jelek di keadaan yang jelek yang serta tidak semestinya mereka kerjakan pada saat Doa bisa di luluskan sewaktu2
"mlaku o disek, ben saya isok nyawang awakmu" (jalan saja dahulu, agar saya dapat terus memonitor kamu) kata Wahyu, tidak tahan dengar berapakah kali kata "Goblok" keluar dari mulut Widya, selama mereka berjalan sendirian telusuri jalan ini.

sambil coba menstarter motor
entahlah berapakah lama mereka berjalan, serta belum juga di jumpai satupun pengendara yang di mintai pertolongan, Wahyu masih lihat Widya, berjalan sendirian dimuka, tidak sekalinya mukanya melihat Wahyu seakan Wahyu telah lakukan kekeliruan paling fatal, yang pernah Wahyu bikin.
sampai, langkah kakinya berhenti.

Widya, hentikan langkah kakinya, Wahyu yang lihat itu, mendadak merasakan ada suatu hal yang salah. tentu.

"nek sampek awakmu kesurupan, bener-bener kronis awakmu, tidak isok ndelok sikonku nyurung montor ket ingin" (jika sampai kamu kesurupan,
bener-bener kelewatan kamu, apa tidak dapat lihat kondisiku dari barusan telah lelah dorong motor dari barusan)

Widya lihat Wahyu, mata mereka sama-sama melihat keduanya.

"yu, krungu ora?? suara mantenan??" (Yu, dengar tidak? ada suara hajatan??)
bukan ingin menjelaskan Widya gila, tetapi, Wahyu mendengarnya, serta suara itu tidak jauh dari tempat mereka.

"Wid, eleng tidak, jare wong dodol cilok, nek onok opo-opo lanjut ae" (Wid, inget tidak kata penjual cilok, jangan berhenti walaupun ada apa pun, kita lanjut saja)
seperti kata Wahyu, Widya juga meneruskan perjalanan, makin mereka berjalan, makin keras suara itu, serta makin lama, di temani suara ketawa dari beberapa orang yang sedang langsungkan hajatan, sampai, di lihatnya, ada jenur kuning melengkung, dari sana, Widya memandangnya
satu pesta, pas dalam suatu tanah lega samping jalan raya, seperti satu ruang perkampungan, dari sana, komplet dengan orang-orangnya, panggung tempat musik di dendangkan.

Wahyu serta Widya, terdiam lumayan lama, seperti termenung pastikan jika yang mereka lihat, manusia.
tidak ada angin, tidak ada hujan, Wahyu serta Widya tercekat waktu ada orangtua bungkuk menanyakan mendadak pas di samping mereka.

"Nopo le" (ada apakah nak?) suaranya halus sekali, benar-benar halus, "sepeda'e mblodok?" (motornya berhenti?)

Wahyu serta Widya cuma mengangguk, pasrah.
si orangtua menyebut beberapa anak yang lebih muda, selanjutnya membimbing sepeda, menepi dari jalan raya, tidak lupa, si orangtua mempersilahkan Wahyu serta Widya istirahat sesaat, sambil menanti motornya di betulkan.

suanasanya ramai, kebanyakan orang repot dengan urusanya sendiri2
ada yang bercanda, ada yang mengobrol keduanya, ada yang nikmati alunan gamelan yang di tabuh selaras, komplet dengan si pengantin yang kelihatan jauh dari tempat Wahyu serta Widya duduk.

"saya ra eroh nek onok kampung nang kene?" (saya tidak tahu ada kampung di sini?)
Widya cuma diam saja, matanya konsentrasi pada panggung, dimuka pemukul gamelan masih ada ruangan, acara apa yang akan mereka selenggarakan dengan ruangan seluas itu.

rupanya, pertanyaan Widya selekasnya terjawab, dari jauh, mendadak tercium aroma melati. aroma yang familiar buat Widya.
di turuti serombongan orang, dihadapanya ada seseorang penari, dia di tuntun naik ke atas panggung, selanjutnya, kebanyakan orang melihat pada satu titik, tempat penari mulai berlenggak lenggok di atas panggung, semua mata, seperti terhipnotis memandangnya
"Ayu'ne curr!!"(cantik sekali anj*ng!!) kata Wahyu

bingung, apa cuma perasaan saja, mata si penari seringkali mengambil pandang pada Widya, dia seperti kenal penari itu, tetapi, tidak ada yang tahu siapa si penari, sampai si bapak tua kembali, tawarkan makanan pada mereka
Wahyu yang mungkin lapar, melahap habis dari mulai lemper sampai apem di hadapanya, sambil terlibat percakapan sama si bapak tua, tetapi Widya lebih senang lihat si penari, dia dapat membuat kebanyakan orang tertuju memandangnya, menatapnya dengan tatapan yang menghipnotis.
sesudah si penari turun dari panggung, si bapak menjelaskan, motor mereka telah usai, dapat di naikin , benar saja.

motor mereka bisa di gunakan , sebelum pergi, Wahyu serta Widya berpamitan, mereka mengucapkan terima kasih mau membantu mereka yang kesulitan,
si bapak mengangguk, menjelaskan mereka harus berhati-hati, tidak lupa si bapak memberikan bingkisan, tunjukkan didalamnya pada Wahyu serta Widya, itu ialah jajanan yang di sajikan barusan, membungkusnya dengan koran, Widya menerimanya, mengucap terima kasih , lalu lanjut pergi.
tidak ada yang seheboh Wahyu, yang terus bicara mengenai cantiknya wajah si penari, rata-rata usianya mungkin lebih tua dari mereka, tetapi, langkah ia berdandan, dapat menutupi usianya hingga dari jauh, kecantikanya kelihatan demikian susah di deskripsikan.
Widya, lebih tertarik dengan kampung itu. untuk apa pun, pada saat perjalanan, tidak di jumpai satu kampung juga, jangankan kampung, warung saja tidak ada benar-benar.

tetapi, motor Wahyu betul-betul mereka betulkan, serta mereka ikhlas menolong tanpa ada minta apa pun,
jadi, apa mungkin, hantu dapat membenarkan motor.

satu yang coba Widya yakini, mungkin, mereka tidak lihat kampung barusan saja, yang penting, di jalan setapak ini, Desa KKN mereka telah makin dekat.
sesampainya di kampung, Wahyu pergi kembalikan motor, sedang Widya telah di nantikan oleh semua anak, mereka cemas, berdiri menanti di teras rumah.

"tekan ndi seh?? kok suwe'ne" (darimanakah sich? kok lama sekali) kata Ayu,

"tekan Kota, belonjo kepentingan kene" (dari kota)
(berbelanja kepentingan kita)

Nur buang muka lihat Widya, biasa, terkadang Nur memang semacam itu, sesudah ia bercerita insiden tempo hari, dia tidak ingin mengulas itu, saat ini, ia dikit menjauhi Widya, serta dia rasakan itu, terasa sangat.
di situasi tegang itu, cuma Bima yang coba mencairkan situasi, "wes ta lah, kok kaku ngene seh"(biarlah, kok canggung gini)

Bima menggandeng Widya, memerintahnya masuk rumah, "awakmu pegel kan" (kamu tentu lelah kan)

tidak beberapa lama, Wahyu telah hadir, dia masuk ke rumah
tanpa ada membuang2 waktu, bukannya dia istirahat, Wahyu dengan suara menggelora menceritakan jika barusan alami insiden tidak kenakan atas kejadian motor, sampai dibantu, orang kampung, tidak lupa, dia menceritakan mengenai penari yang dia jumpai, kecantikanya, dia katakan semua
bukan sambutan yang Wahyu bisa, tetapi tatapan kebingungan lah yang pertama Wahyu lihat.

"ra onok Deso maneh nang kene" (tidak ada desa di sini) kata Bima, Wahyu yang dengar itu tidak terima.

"eroh tekan ndi awakmu" (tahu darimanakah kamu)

"saya wes seringkali nang kota yu,"
(saya seringkali ke Kota Yu) "Prokerku onok hubungane ambek program hasil alam, dadi seringkali melu nang kota mabek wong-kene" (Prokerku terkait sama program hasil alam, jadi seringkali turut ke kota sama orang sini) "sampai sak iki, saya rong eroh onok deso maneh nang kene"
(sampai saat ini, saya belum nemuin satu kampung di dekat sini)

"ngomong opo, mbujuk" (bicara apa, nipu) kata Wahyu berang.

"Mas" kata Nur, "pancen ra onok Deso maneh nang kene, kan wes tahu di ulas" (Mas, memang tidak ada desa di sini, kan pernah di ulas dahulu)
"koen kabeh nek ra percoyo, tidak dudui bukti, nek aku bertemu wong deso liane" (kalian jika tidak yakin tidak kasih bukti jika ada desa lain di seputar sini)

Widya yang sejak dari barusan diam, mendadak ditarik oleh Wahyu. "takono ambek Widya nek ra percoyo"
(bertanya sama Widya jika tidak yakin)

Widya masih diam, lama, sesaat lainnya menanti Widya bicara, hal yang membuat Widya bingung ialah, kopi.

sadar ataukah tidak, Widya sempat rasakan aroma kopi yang manis itu di jajanan yang dia cicip, rasa-rasanya persis sama.
sebab tidak sabar, Wahyu buka paksa tas Widya serta ambil bingkisan itu, bukan koran yang Wahyu temuin, tetapi, daun pisang yang terbungkus di jajanan pemberian bapak tua itu.
pas saat Wahyu buka bingkisan itu.

Kebanyakan orang lihat isi di bingkisan itu, berlendir, serta aromanya benar-benar amis, tidak salah , di bingkisan itu ialah kepala monyet yang masih fresh dengan darah di daun pisangnya.
sesudah insiden malam itu. Wahyu mengurung diri dalam kamar, 3 hari lamanya, terkadang, dia masih tidak yakin dengan hal tersebut, tetapi, jika mengingat bagaimana kepala-kepala monyet itu jatuh dari tanganya, rasa mualnya akan kembali, membuat wahyu harus memuntahkan isi perutnya..
Widya cuma mengulang-ulang kalimat mbah Buyut "jangan menampik pemberian tuan-rumah" sebenarnya, Wahyu serta Widya telah benar, walau ia paham semuanya ganjil, tetapi mereka tetap harus mencicipinya, yang menjadi permasalahannya, cuma Widya yang sadar, jika yang temani mereka bukan manusia
kalau saja, Widya menjelaskan kejanggalan itu pada Wahyu, menampik pertolongan mereka, menampik pemberian mereka, mungkin alur cerita semuanya akan betul-betul berlainan, bisa, malah, penampikan semacam itu akan datangkan balak (musibah) buat mereka,
apa pun itu, Widya telah pahami satu hal, ada jalinan yang otomatis, mengenai dianya serta sang Penari.
Malam itu, Widya baru usai lihat prokernya yang di membantu beberapa masyarakat desa, saat langit telah gelap gulita, Widya telusuri jalan setapak desa, seperti biasa, suara binatang malam mulai terdengar, dia terus berjalan sampai lihat rumah tempat mereka bermalam.
semestinya lainnya telah berada di rumah, entahlah mencicil laporan proker atau sesaat beristirahat, tetapi anehnya, lampu petromax yang semestinya menyala di muka rumah, mati. membuat rumah itu kelihatan lebih sunyi, kelam, serta mengerikan. seakan rumah itu menyebut namanya.
"wes biasa" batin Widya, menguatkan hatinya. rumah ini masih termasuk baru buat Widya serta yang lainnya, tetapi, kemarin, dengar jika ada penunggu di belakang rumah, membuat Widya terkadang tidak tenang, serta beberapa insiden ganjil hampir pernah Widya alami, namun
apa yang Widya alami, apakah mereka alami, namun mereka menutupi serta lebih pilih diam.

sekarang, Widya telah ada di muka pintu, mengetuknya, mengucap salam, dan mengambil langkah masuk, dilihatnya ruangan tengah, tempat biasa Ayu ada dari sana, menulis laporan, sayangnya-
tidak ada Ayu dari sana. cuma ruang kosong.

di teras rumah juga sama, semestinya Wahyu serta Anto ada dari sana, sedang bercanda sekitar apa yang mereka kerjakan ini hari di temani asap rokok dari mulut mereka, atau suara Nur yang sedang mengaji, serta Bima yang entahlah apa yang dia kerjakan
sepanjang tinggal di dalam rumah ini. cuma Bima, yang masih berasa asing buat Widya.
sayangnya, malam itu, tidak di jumpai satupun yang tinggal di rumah ini, apa Widya begitu sore untuk pulang, sedang lainnya masih repot mengatur proker mereka semasing bersama dengan masyarakat.

entahlah. Widya siap-siap masuk ke kamar, waktu, sekelebat perasaan tidak nyaman itu ada.
perasaan seakan ada yang mengamati entahlah darimanakah, serta memunculkan rasa berdebar di dada, saat, suara tawa ringkik terdengar dari Pawon (dapur) rumah, waktu itu, Widya meyakini, suatu hal ada dari sana.

suatu hal yang bukan hal baru, dia harus mengeceknya.
saat Widya menguak gorden, dia lihat Nur, duduk dalam suatu bangku kayu, matanya memandang lurus tempat Widya berdiri, dia masih kenakan mukenah putihnya seakan-akan, dia baru menunaikan sholat serta belum melepaskan mukenahnya, namun, mengapa dia duduk diam semacam itu.
"Nur" "ngapain?" kata Widya.
Bola Online Indonesia
Nur masih diam, matanya seperti mata orang yang kosong.

waktu itu, Widya lihat Nur tundukkan kepalanya dengan sikap duduk itu, seolah-olah dia tertidur di atas bangku kayunya. membuat Widya cemas, mendekatinya.
Widya menggoyang badanya, tetapi Nur tidak bergerak, waktu Widya coba sentuh kulit mukanya yang dingin, Nur terjaga serta melotot lihat Widya, tatapanya, seperti orang yang benar-benar geram.
"Cah Ayu" (anak cantik) hal itu yang pertama Widya dengar dari Nur, namun, suaranya, itu bukan suara Nur. suaranya mirip wanita uzur. melengking, membuat bulukuduk Widya saat itu juga berdiri.

tetapi, waktu Widya coba pergi, tanganya telah di cengkram benar-benar kuat.
"betah nak nang kene," (kerasan tinggal di sini)

Widya tidak menjawab sepatah katapun, suaranya mengingatkanya pada neneknya sendiri, betul-betul melengking.

"yo opo cah ayu, wes ngertos badarawuhi" (bagaimana anak cantik, telah mengenal sama penunggu di sini)

Widya mulai menangis.
"lo lo lo, cah ayu ra oleh nangis, tidak bagus" (anak cantik tidak bisa menangis) Matanya masih melotot, pergelangan tangan Widya di cengkram dengan kuku jari Nur.

"cah lanang sing ngganteng iku ae wes mengenal loh kale Badarawuhi" (anak ganteng hanya itu telah mengenal sama ia)
"Nur" sebut Widya sambil tidak dapat meredam takutnya , situasi di ruang itu betul-betul baru kesempatan ini dapat membuat Widya setakut ini.

"iling Nur iling" (sadar Nur sadar)

Nur ketawa makin kencang, tertawanya betul-betul mirip ketawa yang membuat Widya diam takut.
"awakmu tidak tahu, sopo saya" (kamu tidak tahu siapa saya?)

"mbok fikir, nek tidak onok saya, cah ndablek mode koncomu sing gowo Bolo alus nang kene isok nyilokoi putu 'ku, saya, sing jogo Nur sampai sak iki, ra tidak umbar, Bolo alus nyedeki putuku. tahu"
(kamu fikir, jika tidak ada saya, anak nakal seperti temanmu yang telah bawa penunggu di sini dapat mencelakai cucuku, saya yang sampai kini telah mengawasinya, tidak ku biarlah mereka dekati cucuku. pahami)
"nyilokoi nopo to mbah" (mencelakai bagaimana?)

"cah ayu, kancamu siji akan ra isok balik. nek awakmu rong sadar, opo sing akan kedaden, tidak ilingno, cah ganteng iku, akan gowo ciloko, nyeret kabeh nang petoko nang deso iki"
(anak cantik, satu diantara temanmu tidak bisa kembali, bila kamu belum sadar, semua akan berlangsung, peringatkan anak itu, yang sedang bawa bencana bila di biarlah semua akan terkena batunya di desa ini)

sesudah menjelaskan itu, Nur teriak keras sekali, lalu jatuh terjerembap.
Widya menggotong Nur kembali pada kamarnya, menungguinya sampai dia terjaga dari pingsanya, serta benar saja, dia tidak paham mengapa dia dapat tertidur, mungkin begitu terikut saat sholat.

Nur menceritakan waktu di pondok, jika telah kudu nikmati sholatnya, umumnya sampai ketiduran.
entahlah apa yang Widya pikirkan, sampai mendadak dia menanyakan hal yang Nur sekurang-kurangnya gemari

"semenjak kapan dapat lihat begituan?"

awalannya, Nur salah tingkah, tidak ingin narasi, sampai saat Widya menungguinya, Nur mengatakanya, semenjak mondok, dia dapat memandangnya, sebab memang seharusnya
"Ghaib itu ada" kata Nur, "sebetulnya, setiap orang ada yang menjaga, macamnya berlainan, ada yang jahat, ada yang baik, ada yang hanya ikuti, ada yang hanya menumpang melalui"

"awakmu onok sing jogo?" (kamu ada yang menjaga?) bertanya Widya.
"jarene onok" (tuturnya ada) sebut Nur, suaranya perlahan, sepeti tidak ingin menjawab.

"kok jarene" (kok tuturnya)

"saya ra tahu ndelok Wid, saya di kandani kancaku sak durunge metu tekan pondok, jarene, sing jogo saya, wujud'e mbah dok, mbahku biyen)
(saya tidak pernah memandangnya langsung, saya di kasih tahu temanku sebelum keluar dari pondok, tuturnya, wujudnya mirip nenekku)

sesudah dengar itu, Widya cuma dengar Nur, menceritakan mengenai pengalamanya sepanjang mondok, tetapi, Widya lebih pikirkan hal-hal lain.
23 Hari, telah di lewati, tiap hari, perasaan Widya makin tidak enak, diawali dari satu-satu masyarakat yang menolong prokernya mulai tidak hadir satu-satu, beritanya mereka jatuh sakit, anehnya, itu berlangsung di proker barisan mereka, yang punyai urusan dengan Sinden.
pernah satu hari, Widya dengar otomatis, jika ini semua sebab Sindenya memiliki kandungan sumpah, tetapi pak Prabu bersihkeras itu mitos, takhayul, suatu hal yang membuat masyarakat desanya tertinggal zaman.

tetapi, 1x, Widya pernah di kasih tahu masyarakat, jika Sinden ini
ada yang menjaga.

tuturnya, Sinden ini dahulu, seringkali di pakai untuk mandi oleh ia. ia yang di bicarakan ini, belum pernah di ucap masyarakat, tetapi yang meresahkan dari masalah ini ialah, nama Sinden ini, ialah Sinden kembar.

Sinden kembar. Widya tetap mengulang kalimat itu.
Sinden kembar, membuat Widya makin ingin tahu

fakta mengapa pak Prabu masukkan ini jadi proker ialah, supaya air sungai bisa di alirkan ke Sinden ini, hingga masyarakat tak perlu jauh-jauh ambil air ke sungai yang tanahnya curam, tetapi, seperti ada yang ganjil
Malam itu, Ayu kumpulkan semua anak, tentang permasalahan yang mereka mengmelawan, hampir 1/2 masyarakat yang menolong proker mereka tidak ingin meneruskan pekerjaanya. alasanya berbagai macam, repot berkebun sampai badanya sakit semua.
dari semua anak yang punyai saran, cuma Bima yang tidak seantusias lainnya.

pada malam itu , Widya ingat yang di sebutkan Wahyu, tiap malam, Bima pergi keluar rumah, entahlah apa yang di lakukanya.

Widya, menyengaja bergadang cuma untuk pastikan, serta nyatanya benar, malam itu
Bima pergi keluar rumah.
Widya masuk ke kamar Bima, dari sana ada Wahyu sama Anto, yang pertama Widya kerjakan, membangunkan Wahyu, walau malas, Widya terus memaksanya, sesudah Wahyu betul-betul terbangun, Widya memberi tahu jika Bima barusan keluar.

Wahyu cuma memandang Widya keheranan,
"saya lak wes tahu ngomong su" (saya kan pernah katakan jing)

"lha ya, mari di tutno, nang ndi arek iku" (lha iya, karena itu, mari kita turuti, ke mana anak itu)

"gawe opo? paling nang omahe prabu, ndandani tong bambu'ne" (bikin apa, palingan ia ke rumah prabu, melakukan perbaikan tong-
sampahnya yang dari bambu)

"yo wes mboh" (ya telah terserah)

Widya keluar dari kamar itu, selanjutnya dia pergi mengejar Bima, sendirian.
Bima itu anak cowok yang paling religius, sama kaya Nur, sebab mereka sudah dekat di universitas. tetapi, Anton seringkali narasi, jika terkadang, ia memergoki Bima Masturbasi di kamar, serta itu tidak sekali 2x, permasalahannya ialah, waktu Bima lakukan itu, ada suara wanita
Widya tidak terima Bima di katain itu oleh Anton, Widya juga menanyakan darimanakah dia paham Bima masturbasi?

"heh, mbok fikir saya ra eroh wong masturbasi iku yo opo?" (kamu fikir saya tidak tahu bagaimana cowok masturbasi?)

Widya masih diam, dengarkan keterangan Anton.
"sing dadi masalahe iku guk Bima Masturbasi" "kabeh lanangan tentu tahu masturbasi, saya tidak munafik, masalahe, onok suara wedok'e,??"

(yang menjadi permasalahannya itu bukan Bima masturbasi, semua cowok tentu pernah, saya tidak munafik, permasalahannya, ada suara perempuanya.??)
"cocok tidak enteni, sopo arek iku, nek tidak awakmu, tentu Ayu nek tidak Nur, tetapi, ra onok sopo sopo sing nang kamar ambek cah kui" (saat ku nantikan, siapa wanita itu, ku anggap itu kamu, jika tidak ayu atau nur, nyatanya, tidak ada siapapun juga di kamar sama ia)
"trus" bertanya Widya.

"suoro sopo sing tidak rungokno lek ngunu?" (suara siapa dong yang ku dengar saat itu)

"masalahe, saya wes seringkali krungu, harus, onok suoro iku" (permasalahannya, saya seringkali serta tetap dengar suara itu)
narasi Anton membuat pandangan Widya beralih, serta malam itu, dia lihat Bima berjalan jauh ke timur, arah ke arah satu tempat yang sering membuat Widya merinding setiap memandangnya.

Tipak Talas.
TIPAK TALAS

Widya lihat Tipak talas seperti satu lorong panjang namun, dindingnya ialah pohon-pohon besar dengan akar di sana-sini, tidak hanya medan tanahnya yang naik, di muka Tipak talas, ada gapura kecil, komplet dengan kain merah serta hitam di sekitarnya.
pak Prabu pernah menceritakan, kain hitam ialah nama tradisi untuk satu pemberi tanda seperti di pemakaman, tetapi tidakkah warna cerah lebih baik menjadi satu pemberi tanda, sebelum Widya tahu kebenaran dari masyarakat yang menceritakan, jika hitam yang dimaksud ialah lambang alam lain.
hitam bukan untuk yang hidup, tetapi untuk sinyal buat mereka yang telah mati. MATI
Bola Online Indonesia
lalu, apa tujuan pemberi tanda warna merah?

konon, dari semua tempat yang diberi pemberi tanda satu kain di desa ini, cuma gapura ini yang diberi kain warna merah, ditambah lagi jika bukan lambang bencana
Widya mulai mengambil langkah naik, kakinya tidak berhenti cari pijakan di antara akar serta batu, sambil tanganya cari suatu hal yg dapat meredam berat tubuhnya

Malam benar-benar dingin, dingin sekali. cuma kabut ditengah-tengah kegelapan yg dapat Widya lihat, perlu perjuangan keras untuk sampai
saat Widya sampai di pucuk Tapak tilas, Widya cuma lihat satu jalan setapak, kelihatanya tidak terjal, tetapi rupanya perlu tambahan perjuangan , dari sana, Widya merasakanya, perasaan yang tidak enak dari tempat ini, makin jelas, hal tersebut, membuat Widya merinding.
jalan setapak itu tidak besar, di kanan-kiri di tumbuhi rumput serta tumbuhan yang tingginya hampir sebahu Widya, dari celah tumbuhan serta rumput, Widya dapat lihat rimba yang betul-betul rimba, pohon menjulang tinggi dengan tumbuh2an di sekelilingnya yang tidak tersentuh.
benar-benar gampang ikuti Bima, sebab tinggal ikuti jalan setapak, tetapi, setiap saat Widya berjalan, terus-terusan, dari balik semak atau rerumputan, seperti ada yang bergerak, terkadang saat Widya coba memandangnya, suara itu musnah demikian saja.
Tanahnya keras, serta lembab. tetapi Widya terus tembus jalanan itu, makin lama makin dingin, serta beberapa kali sudah Widya berhenti untuk menghela nafas panjang.

jalanan ini, sepeti tidak berbuntut, tetapi, jika kembali, Widya tidak tahu apa yang ditangani Bima di sini.
hal yang cukup di sesalkan Widya cuma satu, dia cuma kenakan sandal selop, memang, apa yang Widya kerjakan malam hari ini, spontan sebab ingin tahu, tanpa ada persiapan, tanpa ada rekan, serta sesal itu, semakin makin bertambah waktu Widya mulai dengar gending.

ya. suara yang familiar,
suara yang dimainkan ialah kidung yang Widya dengar waktu dia ada di bilik mandi, bersama dengan Nur, sedang alunan gamelan yang dimainkan ialah alunan yang sama waktu Widya mengambil pandang pada penari yang menari pada malam ia bersama dengan Wahyu.

bukanya lari, Widya makin menjadi-jadi
makin jauh, suaranya makin jelas, serta makin jelas suaranya, makin ramai jika dari sana, Widya tidak sendirian.

tetapi, yang Widya jumpai, ialah ujung Tipak talas, yakni, satu tumbuhan yang di tanam pas di jalan setapak.

tumbuhan itu, ialah tumbuhan beluntas.
tumbuhanya kecil, tetapi rimbun, samping kiri kanan, telah tidak dapat di lalui, terkecuali jika bawa parang, serta tentunya perlu waktu yang lama untuk menghajar semak belukar, tetapi, wangi tumbuhan beluntas semestinya langu, tetapi ini, wanginya seperti aroma melati,
seperti tidak sadar, Widya telah kunyah daun itu, serta terus kunyah, Widya baru sadar waktu tenggorokanya tersayat batang beluntas yang tajam, serta dibalik tumbuhan itu, Widya lihat jalan alami penurunan, patut saja, dia cuma dapat lihat ujung jalan setapak berhenti di sini.
jadi, jalan menurunya di tutup oleh beberapa sekali tumbuhan beluntas, waktu Widya menuruninya, dia sampai harus berdarah-darah mendapatkan tanaman beluntas yang di lilit tali puteri.

di bawahnya, ia lihat Sanggar yang dikisahkan Ayu dahulu, serta sanggarnya betul-betul amburadul.
ada 4 pilar kayu jati yang di potong sisi 4, memanjang ke atas dengan atap mengerucut, dari jauh kelihatan seperti bangunan balai desa, tetapi semakin besar dengan lantai panggung.

dari sana, suara gamelan terdengar jelas sekali, seperti sumber suara gamelan itu berada di bangunan ini.
waktu Widya mendekatinya, walau sangsi, dia merasakan kehadiranya tidak sendirian, ramai, seperti tempat ini penuh sesak, tetapi, tidak ada siapa saja dari sana, cuma ia sendiri, yang berjalan dekati

pas saat Widya mencapai anak tangga pertama, suara gamelan, berhenti, sunyi senyap
hening sekali.

keheningan itu betul-betul menganggu Widya, kehadiranya seperti tidak diterima di sini.

tetapi Widya memaksakan untuk masih lihat, serta waktu itu, Widya dengar satu orang menangis, suaranya familiar, seperti suara orang yang dia mengenal.

Ayu.
Widya baru mengingat suatu hal yang paling ganjil sepanjang KKN di sini, Ayu.

Ayu belum pernah sekalinya narasi apa pun mengenai desa ini, suatu hal yang ganjil yang menganggunya, sebaliknya, Ayu melawan semua yang tidak logis di desa ini,
tetapi pada malam saat mereka berdebad dengar suara gamelan, Ayu tentu berbohong, Ayu sebetulnya juga paham serta mendengarnya dengan cara langsung, Ayu lebih tahu mengenai semuanya, jauh di atas lainnya, terhitung, apa yang Bima kerjakan sampai kini.
seperti tangkap angin, ada suara tangisanya, tetapi tidak ada bentuk dimana saja Widya cari, tapi, tempat sesunyi serta sesepi itu, masih berasa ramai buat Widya, seperti dia di lihat dari beberapa pojok.

Widya lihat dari jauh, dibawah sanggar, ada satu gubuk, berpintu.
Widya mendekatinya, tetapi malas membukanya, dia melingkari gubuk itu, dari dalam gubuk, terdengar suara Bima, di turuti suara wanita mendesah, benar-benar jelas, tetapi Widya tidak dapat lihat apa yang ada di sana.

leher Widya perlahan-lahan makin berat, serta berat.
waktu Widya masih berusaha susah payah cari langkah untuk lihat, nasib baik, Widya temukan beberapa sela kecil untuk melihat, darisana Widya menyaksikanya langsung, Bima, sedang berendam di Sinden (Kolam) di sekelilingnya, dia di kelilingi banyak ular besar.
lihat itu Widya terkejut, serta parahnya, Bima memandang lurus ke tempat Widya melihat, semua ularnya sama, seperti yang Widya rasakan, mereka mengetahui, ada tamu tidak di undang.

lihat reaksi semacam itu, Widya kembali serta lari pergi.
waktu lari itu, suara tabuhan gong di turuti suara kendang, terdengar , suara gamelan itu, terdengar keras, komplet dengan suara ketawa yang bersahut-sahutan, serta Widya lihat Sanggar kosong itu, di penuhi semua yang tidak Widya lihat waktu datang dalam tempat ini.
dari ujung ke ujung, penuh sesak, banyak yang disaksikan Widya, ada yang melotot, dari yang mukanya separoh, sampai yang tidak punyai muka.

dari yang pendek, sampai yang tingginya setinggi pohon beringin. mereka penuhi Sanggar serta sekelilingnya, Widya mulai menangis.
suara yang hampir penuhi telinga Widya serta hampir membuat edan itu mendadak berhenti.

Widya lihat, di depanya, ada yang sedang menari, tarianya hampir membuat semua yang ada dari sana memandangnya.

dari sana, Widya mengerti, yang menari itu Ayu,
matanya Ayu sembab, seperti telah menangis lama, tetapi tingkah ekspresi mukanya seperti memerintah Widya lari, lari, tanpa ada tahu apa yang berlangsung, Widya langsung lari, melalui kerumunan yang sedang lihat Ayu menari di sanggar.

Widya memanjat tempat itu, menangis sejadi-jadinya.
sampai di jalan setapak, Widya dengar anjing menggonggong, tidak beberapa lama, anjing hitam keluar dari semak belukar, sesudah lihat Widya, anjing itu lari, Widya ikuti anjing itu.

Widya keluar dari jalan setapak itu, saat subuh, kelihatan dari langit yang kebiruan.
tetapi rupanya, Widya salah.

seseorang masyarakat desa, terkejut bukan main lihat Widya, ia langsung lari sekalian berteriak menyebut masyarakat kampung.

"Widya nang kene, iki Widya wes balik" (Widya di sini, anaknya telah kembali)

bingung, hampir masyarakat berhamburan memeluk Widya.
"mrene ndok, mrene, awakmu sing sabar yo, awakmu kudu siap yo ambek berita iki" (ke sini nak, ke sini, kamu yang sabar ya, kamu harus siap sama berita yang kelak kamu dengar) seseorang ibu, memeluk Widya, di matanya dia seperti meredam nangis, Widya cuma gaguk, diam, tidak pahami.
si ibuk menggandeng Widya, Widya masih diam, seperti orang bingung, di jalan ramai masyarakat desa yang ikuti Widya, Widya mengambil dengar dari mereka yang bicara di belakang.

"wes di goleki sampai Alas D********* jebule, maghrib kaet bertemu arek iki, saya wes mikir elek"
(telah dicari sampai ujung *********** tidak taunya baru bertemu maghrib anak ini, saya telah mikir jelek)

satu hari tadi malam, Widya rupanya telah lenyap.
saat Widya lihat rumah penginapan mereka, Widya lihat banyak orang bergabung dari sana, serta waktu mata mereka lihat Widya, semua hampir takjub tidak mengerti. seperti lihat hantu, lalu, kelihatan dari dalam, pak Prabu keluar, mukanya, mengeras lihat Widya
mata pak Prabu mendelik, lihat Widya. "tekan ndi ndok?" (darimanakah kamu nak)

Widya tidak menjawab apa yang pak Prabu tanyakanlah, si ibuk menentramkan pak Prabu supaya tenang, sambil menggiring Widya masuk ke rumah, Widya dengar Nur menjerit, menangis, seperti kesetanan.
waktu Widya masuk serta lihat apa yang berlangsung, Widya lihat ruang itu di penuhi orang yang duduk bersila, mereka melingkari 2 orang yang terbujur, tubuhnya di tutup selendang, di ikat dengan tali putih, mirip kafan, Wahyu serta Anto memandang terkejut waktu Widya masuk.
"Wid, tekan ndi awakmu?" (darimanakah kamu Wid?) sebut Nur langsung memeluk Widya.

"onok opo iki Nur?" (ada Apa ini Nur)

Nur tutup mulutnya, tidak tahu harus mengawali darimanakah, sampai Wahyu berdiri, "Ayu Wid, Nur lihat Ayu, mendadak terbujur kaku, matanya tidak dapat di tutup"
Widya dekati Ayu, di sebelahnya ada Bima, dia terus-terusan menendang-nendang dalam tempat terikat itu, seperti satu orang yang diserang epilepsi, matanya kosong lihat langit-langit, mereka berdua terbaring tidak berkapasitas, langsung Widya turut menjerit sebelumnya ada yg menentramkan
dari Pawon, mbah Buyut keluar, dia lihat Widya selanjutnya memanggilnya.

"sini ndok, Mbah jek tas gawe kopi" (sini nak, si mbah barusan usai membuat kopi)

mbah Buyut, duduk di bangku kayu yang berada di pawon, dia lihat Widya lama, selanjutnya mengatakanya. "Koncomu wes kelewatan"
"Pripun mbah?" (bagaimana mbah?)

"yo opo rasane di kerubungi demit sa'alas?" (bagaimana rasa-rasanya di kelilingi makhluk halus satu rimba?)

Mbah Buyut masih mengeduk kopinya, melihat Widya yang terlihat mulai kembali kesadaranya, "nyoh, di ombe sek" (nih, di minum dahulu)
Widya menyesap kopi dari mbah Buyut, mendadak rasa pahit yang monohok membuat tenggorokan Widya seperti di cekik, membuat Widya memuntahkanya, sangat banyak muntahan air liur Widya yang keluar, dia lihat mbah Buyut yang terlihat mengangguk. seperti pastikan.
"koncomu, ngelakoni larangan sing abot, larangan sing tidak wajar gawe menungso opo maneh bangsa demit" (temanmu, lakukan pantangan yang tidak dapat diterima manusia, ditambah lagi bangsa halus) kata mbah Buyut sambil geleng kepala.

"memahami ndok" (memahami nak)

Widya mengangguk.
"Sinden sing di buat, iku ngunu, Sinden kembar, siji nang cidek kali, siji'ne nang enggon sing mok parani wingi bengi" (Sinden yang kamu lakukan, itu kembar, satu di dekat sungai, satu yang tempo hari malam kamu kunjungi)

"eroh opo iku sinden?" (tahu manfaat Sinden?)
"mboten mbah" (tidak paham mbah)

"Sinden ku, enggon adus'e poro penari sak durunge tampil. nah, Sinden sing cidek kali, tidak popo di buat, tetapi, sinden sing sijine, ra oleh di parani, opo maneh sampai di gawe kelon"
(Sinden itu tempat mandinya beberapa penari sebelum tampil, nah, sinden yang di dekat sungai tidak apa-apa di lakukan, tetapi, sinden yang satunya, tidak bisa di kunjungi, ditambah lagi di gunakan kawin)
"Widya tahu, sopo sing gok Sinden iku?" (Widya tahu siapa yang berada di sinden itu)

Widya diam lama, sebelum mengatakanya. "Ular mbah"

"nggih. benar" "sing mok delok iku, ulo-anak'e Bima karo" (yg kamu lihat itu, ialah anaknya Bima sama)

"Ular itu mbah"

mbah buyut mengangguk
"iku ngunu, mbah sing kecurian, Widya mek di dadekno Awu awu, ben si mbah ngawasi Widya, tetapi mbah salah, koncomu iku sing ket awal wes di incer karo" (itu, mbah yang kecurian, Widya cuam di buat jadi pengalih perhatian, agar si mbah ngawasi kamu, tetapi mbah salah, dari pertama,
yang di bidik sama)

mbah Buyut diam lama, seperti tidak ingin menyebutkan nama makhluk itu. "

"ngantos, yo nopo mbah, Ayu kale bima saget mbalik?" (lantas bagaimana mbah, apa Ayu sama Bima dapat kembali?)

"isok isok" kata mbah Buyut, "sampai balak'e di angkat"
"balak'e di angkat mbah" (bencananya di angkat) kata Widya, bingung.

"Bima ambek Ayu wes kelewatan, sak iki, kudu nanggung opo sing di mainkan" (Bima sama Ayu telah kelewatan, saat ini, ia harus memikul apa yang ia lakukan)

"Ayu sak iki, kudu nari, keliling Alas iki)
(Ayu saat ini harus menari melingkari Rimba ini)

"sak angkule nari, sadalan-sadalan" (tampil, menari, di tiap jengkal tanah ini)

"Bima mbah?"

"Bima, yo kudu ngawini sing nduwe Sinden" (Bima ya harus mengawini yang punyai Sinden)

"Badarawuhi mbah"

Mbah buyut terkejut.
"oh ngunu" (oh demikian) "wes eroh jeneng'e" (sudah mengetahui namanya)

"Badarawuhi, iku salah sijine sing jogo daerah iki, pekerjaan Badarawuhi iku nari, dadi bangsa lelembut iku yo seneng ndelok Badarawuhi iki nari, nah, sak iki, Ayu kudu nanggung pekerjaan Badarawuhi nari"
(Badarawuhi itu diantaranya yang menjaga di daerah ini, pekerjaannya ya menari, jadi bangsa lelembut senang lihat tarian dari Badarawuhi, saat ini, Ayu harus menggantikanya)

"Bima, kudu ngawini Badarawuhi, anak'e iku wujud'e ulo, sekali ngelahirno, isok lahir ewonan ulo"
(Bima harus mengawini Badarawuhi, anaknya itu berbentuk ular, sekali melahirkan, dapat lahir beberapa ribu ular)
Bola Online Indonesia
"salah kancamu, wes ngelakoni hal gendeng nang kunu, dadi kudu nanggung akibate" (salah temanmu sendiri, jadi saat ini mereka harus tanggung jawab)
"Badarawuhi iku ngunu ratune ulo, bangsa lelembut sing titisan aji sapto, balak'e ra isok di tolak opo maneh di mendalno, mene isuk, tidak coba'e ngomong apik-apik'an, wedihku, koncomu ra isok balek orep2"
(Badarawuhi itu ratunya ular, bangsa lelembut yang telah tidak tertahan, kutukanya, tidak dapat di tolak ditambah lagi sampai di buang, esok pagi, agar tidak coba ngomong baik-baik, takutnya, temanmu tidak dapat kembali hidup2)
mbah buyut pergi, Nur, Wahyu serta Anton lihat Widya sendirian di pawon, duduk, sambil termenung.

"Goblok!! Bima karo Ayu asu!! kakean ngent*t!!" (bodoh!! Bima sama Ayu itu Anj*ng!! umumnya ngent*t)

kaimat itu, yang mereka pikirkan malam itu.
walau yang di katakan Wahyu itu kasar, tetapi tidak ada yang keberatan dengan semuanya, lebih, permasalahan ini telah tiba ke faksi universitas, serta ke keluarga Bima serta Ayu.
pak Prabu bercerita jika urutan insiden ini tidak dapat mereka bendung, KKN sebagai tanggung jawab beliau, harus sampai, ke kebanyakan orang yang terjebak, walau awanya Nur coba meminta supaya permasalahan ini jangan pernah keluar dahulu, tetapi, hilangnya Widya, membuat
Pak Prabu pada akhirnya menyerah serta pilih melaporkanya.
lalu apa yang berlangsung sama Ayu serta Bima?

Pagi itu, serombongan mobil hadir, mereka ialah keluarga sekaligus juga panitia KKN yang telah dengar semua ceritanya dari pak Prabu.

Ayu masih terbaring, matanya melotot, tetapi tubuhnya masih seperti orang lumpuh.

Bima, masih kejang2
well ada yang ingin lihat photo mereka?
maaf maaf, Aib!!

masalah mobil, gw tidak memahami. pokoknya mereka di jemput paksa, KKN mereka di coret, gw akan lanjutin akhir ceritanya saja ya, sama yang berkaitan. di selesaiin saja malam hari ini, agar gw dapat konsentrasi kerja. . tetapi serius ingin lihat photo mereka?
gw hanya moto dari hape, sebab fotonya di bikin di art paper, serta gw hanya dapat katakan, Bima sama Ayu, cantik serta ganteng memang. karenanya gw berani gambarin fisiknya si Bima.
gw lanjut ya
sebetulnya, proses penjemputan tidak segampang yang akan gw catat, sebab faksi keluarga Bima atau Ayu, geram besar, mereka tidak terima anaknya di buat semacam ini.

serta faksi universitas terkena, sebab kasusnya betul-betul hampir di bawa serta ke media nasional,
Widya, Nur sampai harus minta supaya Ayu serta Bima di biarlah masih tinggal di sini, yang konon kata Mbah Buyut bisa balaknya diambil setiap saat, tetapi, dari faksi keluarga Ayu serta Bima, tidak ingin , mereka masih bawa Ayu serta Bima, hasilnya?
Ayu cuma dapat tidur dengan mata terbuka terus-terusan, Widya pernah di ceritain oleh ibunya, jika terkadang, dia lihat mata Ayu meneteskan air mata, tetapi, tiap di bertanya, ia cuma diam, tidak menjawab, Ayu pada akhirnya wafat sesudah 3 bulan di rawat. abangnya, merasakan bersalah
sampai hampir ingin mengamuk di desa itu, tetapi, pak Prabu juga sama, semestinya semenjak awal, waktu Ayu meminta di izinkan KKN dari sana, dia tegas menampik, alasanya, memang tempat itu tidak baik untuk di tinggali mereka yang masih berbau kencur.
Bima??

bagaimana?? wafat , Malam sebelum ia wafat, Bima teriak meminta tolong, tetapi saat diberi pertanyaan, mengapa serta meminta tolong apa?

Bima berteriak ular, ular, ular, dia wafat terlebih dulu dari Ayu, tubuhnya di kebumikan, orang tuanya awalannya masih ingin memperpanjang-
permasalahan ini sama faksi universitas, tetapi pada akhirnya di cabut, dengan catatan, KKN tidak di selenggarakan di timur jawa , mulai sejak itu, universitas ini, cuma membolehkan KKN mengarah barat, tidak timur, ditambah lagi Desa yang jauh.
ada hal yang buat gw radak sulit gambarin ialah, narasumber (Widya) disamarkan, tiap beliau menceritakan, beliau cuma bercerita pokoknya, serta gw harus ngatur lagi ceritanya supaya menyambung, lepas dari itu, gw inget, setiap ia narasi, tanganya grogi, seperti -
tidak ingin mengulang-ulang momen itu. apa pun itu, gw mengharap narasi ini memiliki kandungan hikmah buat kalian yang membacanya,

untuk peserta KKN nya juga sebetulnya bukan 6 orang, tetapi 14 orang, gw perpendek untuk menyingkat narasi beliau yang sama-sama terkait keduanya
untuk kekeliruan, pengetikan, serta buat kentangnya, gw minta maaf sebesar-besarnya.

memang benar, manusia itu merasakan besar, walau sebenarnya sebenarnya ada kebesaran lain yang membuat manusia tidak ada apa-apanya dibalik kalimat kecil, dimana saja kalian ada, dukung tata krama-
sama-sama menghargai, sama-sama jaga keduanya, serta selalu berlaku seperti manusia yang beradab.

1 komentar:

Author
avatar


JavaOnline99 .net Situs IDN Poker & IDNSports Terbaik dan Terpercaya di Asia
Yang Menyediakan Banyak Permain Online Seperti Slot Game, Casino, Sportsbook, Tembak Ikan dan Poker.
Buruan Daftar dan Dapatkan Promonya !!
Info Lebih Lanjut :
JavaOnline99 .net (Hapus Spasi)
WhasApp : +85595613431
#IDNPoker
#IDNSPORTS
#BolaOnlineIndonesia
#CasinoOnlineIndonesia
#SlotGameIndonesia
#IDNSport
#LiveGame
#IDNLIVE
#JavaOnline99
#AGENIDNSPORT
#SlotOnline
#CasinoOnline
#BolaOnline
Syarat dan ketentuan promo new member 10.000
✔️ Syarat Withdaraw di hitung dari Coin atau Saldo (Deposit+Bonus) x4
Contoh : Deposit 25.000 + Bonus 10.000 = 35.000 x 4 = Minimal Withdraw Coin harus 140.000
✔️ Jika ingin melakukan withdraw dan belum memenuhi syarat Bonus Akan di tarik kembali

idn poker
idnsports
idnlive
poker texas indonesia
slot online
idntogel

Reply